BERILMU
TANPA BERGURU DIERA DIGITAL DALAM PRESPEKTIF AL-QUR’AN DAN SAINS
Nur
Kamila
Mahasiswa
Pendidikan Agama Islam
fakultas Tarbiyah Universitas Ibrahimy Situbondo Jawa Timur
Abstrak :
Mencari
ilmu di dunia digital tentunya sudah tidak asing lagi di masa modern ini.
Banyak para pemuda bahkan semua pengguna digital bisa secara mandiri mengakses informasi
yang diinginkan melalui internet. Sehingga cara-cara klasik dalam mencari ilmu
yang diajarkan dalam Al-qur’an mulai pudar.
Banyak
pengguna digital yang kurang cerdik dalam mengakses informasi. Sehingga sisi
positif dari dunia digital ini berubah menjadi dampak negatif dan
pengaruhnyapun sangat besar kepada manusianya itu sendiri.
Penelitian
ini berusaha menggali informasi dari berilmu tanpa berguru di era globalisasi
dalam prespektif Al-qur’an dan sains. Hasil penelitian ini telah menunjukkan
bahwa Al-qur’an telah menjelaskan bagaimana konsepnya jika seseorang berilmu
tanpa berguru di era sekarang. Berbagai dalil yang sudah pasti telah digali
dalam penelitian ini.
A.
PENDAHULUAN
Ilmu merupakan kebutuhan
akal yang harus dimiliki manusia untuk hidup mudah di dunia. Ilmu adalah
makanan bagi jiwa (ruh), sebagaimana nasi dan sayur-sayuran adalah makanan bagi
rada (fisik). Kekurangan asupan ilmu menjadikan jiwa lemah dan kurang
berkembang, layaknya raga yang kekurangan asupan gizi dari makanan.
Manusia
beraktifitas dengan baik dalam kehidupan sehari-hari tentunya berjalan lurus
dengan ilmu pengetahuannya. Dari abad keabad pola pikir manusianya pula
berjalan dinamis dengan perkembangan waktu didasari dengan ilmu pengetahuan.
Sebagai manusia yang sempurna akalnya, ilmu pengetahuan merupakan suatu hal
paling utama yang mendasari bergerakkan panca indra.
Hingga pada abad
ke-6 M, ilmu pengetahuan berkembang menjadi berbagai cabang-cabang keilmuan
yang menjadi pendoman atas apa yang terjadi saat ini. Banyak para ilmuan yang
menemukan penemuannya dengan menggali keilmuannya dengan cara-cara terdahulu. Cara-cara
tersebut tentunya sulit untuk didapatkan, artinya untuk mendapatkan keilmuan
yang dicari tidak semudah apa yang ada pada zaman sekarang.
Jika
dibandingan akses untuk mendapatkan ilmu pengetahuan dahulu dan sekarang,
Tentunya terlampaui sangat jauh perbedaannya. Zaman dahulu, untuk mendapatkan
ilmu yang diinginkan harus mencari guru sebagai sumber dari keilmuannya, bahkan
akses dan waktunya pun sangat panjang dan sulit untuk rumpun dalam memperoleh
suatu ilmu. Sedangkan zaman sekarang, tidak perlu disulitkan lagi akses keilmuannyapun
sudah sangat mudah sekali dan waktunyapun singkat untuk mendapatkan ilmu yang
diinginkan. Satu detik saja bisa.
Seiring
berkembangnya zaman, dunia sekarang tidak lagi asing dengan adanya digital atau
djejaring sosial sebagai akses mudah kehidupan. Khususnya dalam bidang keilmuan.
zaman sekarang ini, digital seperti menjadi ketergantungan bahkan dituntut
untuk bisa memahami ilmu digital. Oleh karenanya, banyak sekali para penimba
ilmu yang sudah mumpuni keilmuannya meskipun tanpa perantara guru dalam
mengakses ilmu yang diinginkan.
Para
penimba ilmu masa kini terlihat seperti lebih condong pada memanfaatkan akses
digital dalam memperluas wawasan dan keilmuannya. Tanpa seorang gurupun penjelasan
atau wawasan bisa dicari dimana saja dan kapan saja. Seperti halnya youtobe,
google schooler dan banyak lagi akses keilmuan lainnya. Hal ini menjadikan kehidupan
manusia masa kini menjadi lebih praktis dan memperkaya wawasan dengan mudah. Seakan-akan
dunia digital adalah guru kedua dalam menimba keilmuan.
Salah
seorang penimba ilmu beranggapan bahwa “ menimba ilmu diinternet saja bisa,
lalu untuk apa kita menunggu guru untuk mendapatkan ilmu itu ?, sekarang ilmu
tidak perlu pusing-pusing untuk dicari, browsing di handphone saja sudah bisa
diakses dengan sangat luas.” Dari hal ini pola pikir manusia masa kini sudah
sangat terpengaruhi oleh dunia digital. Dan hakikat guru sebagai sumber belajar
yang utama dan mulia semakin dikesampingkan dengan canggihnya informasi digital.
Memang,
mengakses informasi dalam era digital sangatlah mudah. Namun, banyak penimba
ilmu yang sulit membedakan dan memperhatikan dalam mengakses informasi keilmuan.
Antara ilmu-ilmu non Syari’at (ilmu-ilmu duniawi) dan ilmu agama khsusunya
islam tidak disikapi dengan bijak dalam mengaksesnya. Tak sedikit sumber-sumber
ilmu atau informasi yang tidak jelas dasarnya dari mana. Banyak yang terkecoh dan menjadi ketersesatan
kelimuan, sehingga akal dan wawasan si penerima ilmu menjadi terpengaruh.
Semakin
canggih manusia, semakin pula menganggap dunia uni sangat penting dalam mumpuni
sebuah keilmuan. menganggap dirinya mampu mandiri dalam mendapatkan ilmu.
Disisi itu, tindakan tersebut terjadi tanpa didasari pemikiran yang cerdik.
Manusia sekarang dalam menyikapi dunia maya bertindak tanpa mampu berpikir
bijak terlebih dahulu dalam mengakses. Lantas, bagaimana jika hal ini terjadi
?. dengan tanpa adanya penengah dalam hal ini, otomatis pola pikir manusia akan
berjalan tanpa aturan. Karena otak dan pemikiran manusia tentu berbeda-beda.
Ada yang mengarah pada pembaharuan baik, dan ada pula yang mengarah pada
pembaharuan yang sesat.
Tanpa
menghilangkan cara-cara orang terdahulu, proses seseorang dalam menuntut ilmu
pastinya akan jauh dari kesesatan keilmuan.
Era
digital memang berdampak positif bagi kemajuan globalisasi, namun perlu diingat
dan dipilah kembali, bagaimana memanfaatkan semua kenyamanan dunia digital
dengan cerdik, bisa saja hal positif itu berubah menjadi dampak negatif ketika
pengguna tidak jeli dalam mengakses informasi, yang mana keteledoran tersebut
dapat berpengaruh besar pada pola pikir manusia itu sendiri.
Ilmu
pengetahuan yang menjadi tolak ukur amaliyah seseorang tentunya pada hakikatnya
harus didasari dengan sumber yang jelas. Yaitu Al-Quran dan hadis dalam segi
keislaman dan UUD 45 dalam segi sistem negaranya. Dalam al-qur’an hadis juga
sudah di jelaskan tentang bagaimana menuntut dan menimba ilmu dengan benar. Berpedoman
pada al-qur’an hadis memang tak lepas dari cara-cara klasik yang harus
digunakan dalam mencari ilmu. Tidak bisa cara-cara klasik ini diselaraskan
lurus dengan cara-cara modern seperti saat ini. Karena memang harus ada
ketentuan-ketentuan tertantu yang harus dijadikan pandangan dalam mencari ilmu.
Aturan memang diperlukan di dunia ini agar arah yang dipilih untuk melakukan
sesuatu tidak keliru.
Sebagai manusia
yang beragama islam, Al-Qur'an adalah suatu mukjizat yang terbesar karena
sebagai sumber kebahagiaan hidup
manusia di dunia dan di akhirat, hal ini terbukti dengan perhatian yang
sangat besar terhadap ayat-ayat Alquran, yang mana pada perkembangan islam
dijadikan sebagai sumber ilmu. Isi kandungan Alquran menyangkut semua segi
kehidupan manusia baik di bidang ibadah yang menyangkut hablum minAllah dan
hablum minannas. Disamping itu, Alquran juga dijadikan sebagai sumber kehidupan
manusia baik di bidang ilmu pengetahuan, bidang sosial, ekonomi,
politik, budaya dan lain sebagainya. Serta hadis yang diajarkan oleh Nabi kita
sebagai petunjuk atau pemandu perjalanan hidup manusia. Oleh karena itu, para penimba ilmu tetap
berpedoman pada Al-qur’an bagaimana mencari ilmu yang benar agar tidak menuju
pada kesesatan. Sampai kapanpun Al-qur’an dan hadis tidak bisa dihilangkan dari
segala amaliyah manusia islam.
Dalam konteks
sejarah, dalam segi ilmu pengetahuan (sains) usaha manusia untuk mencari
pengetahuan yang bersifat mutlak dan pasti telah berlangsung dengan penuh
semangat dan terus menerus. Setidaknya ada tiga pendekatan yang digunakan dalam
konteks ini, yaitu rasionalisme, empirisme dan metode ilmiah. Ketiga pendekatan
inilah yang biasa dikenal sebagai sebuah metodologi dalam mencari pengetahuan.
Bagi yang sedang mendidik diri untuk menjadi ilmuan maka tema pokok dari metode
ilmiah harus dikuasai. Sebab tanpa kemampuan dasar ini dikhawatirkan bahwa
fariasi yang dikembangkan itu mungkin saja tidak mencerminkan ciri yang seharusnya
dipenuhi oleh suatu kegiatan keilmuan.
Berdasarkan latar
belakang di atas, penelitian ini bermaksud untuk mengungkap berilmu tanpa
berguru diera digital dalam prespektif al-qur’an serta sedikit padangan para tokoh keilmuan
berdasarkan sains modern. Al-qur’an sebagai kitab suci orang islam yang di
dalamnya terdapat berbagai macam aturan dan juga keilmuan, baik dari aspek
aqidah, akhlak, ibadah maupun muamalah duniawi.
B.
PEMBAHASAN
Ilmu
Pengetahuan, Teknologi dan Seni (IPTEKS) adalah lapangan kegiatan terus menerus
dikembangkan dalam peradaban Muslim di era digital. Hal ini dikarenakan
penemuan penemuan digital dalam telekominikasi, transportasi, informasi dan
lainnya telah memudahkan kehidupan, memberikan kesengan dan kenikmatan,
sehingga kebutuhan-kebutuhan jasmani tidak sukar lagi pemenuhanannya. Di sisi
lain penguasaan dan pengembangan IPTEKS an
sich, tanpa mengaitkan dengan nilai-nilai agama, hanya akan menciptakan
intelektual-intelektual yang miskin eksistensi diri dan moralitas (akhlak) yang
mulia. Hal ini terbukti dari pemanfaatan sain dan teknologi yang cenderung tak
terkontrol, sehingga menimbulkan eksploitasi yang luar biasa, baik dari sisi
fisis-biologis maupun dari sisi sosial budaya terhadap kehidupan manusia.
Alhasil, eksploitasi dan eksplorasi berlebihan tersebut melahirkan berbagai
bencana, baik bencana material maupun moral.[1] Hal ini semata-mata merupakan
kelalaian dari manusia itu sendiri. Allah SWT selalu mengingatkan kepada
manusia dalam firmanNya:
وَ مآ أ
صـٰ بڪُم مِّن مُّصِّي بةٍَ ف ب مِّا ك سب تۡ أ يۡدِّيكُمَۡ و يعۡفوُاْ عن
كثيِّر
“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu Maka adalah
disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar
(dari kesalahan-kesalahanmu).” (Q.S. As-Syuura [42]: 30)
Tragedi
tersebut di atas, menurut Daradjat (1979), disebabkan oleh beberapa faktor yang
mempengaruhi cara pandang dan berpikir masyarakat modern, antara lain: (1)
kebutuhan hidup yang semakin meningkat dan konsumtif; (2) rasa individualistis
dan egoistis; (3) persaingan dalam kehidupan; (4) keadaan yang tidak stabil; dan
(5) terlepasnya IPTEKS dari agama.
Ilmu
yang berkembang di dunia Barat saat ini berdasarkan pada rasio dan pancaindera,
jauh dari wahyu dan tuntunan ilahi. Meskipun telah menghasilkan teknologi yang
bermanfaat bagi manusia. Di sisi lain, perbudakan terjadi dan kekayaan alam
dieksploitasi. Contoh ilmu pengetahuan yang sudah terbaratkan itu (westernized), yaitu yang terjadi pada
dunia pertanian sangat berlebihan dalam penggunaan bahan-bahan kimia, seperti
luasnya penggunaan pestisida, herbisida, pupuk nitrogen sintetis, dan
seterusnya, bahkan meracuni bumi, membunuh kehidupan margastwa, bahkan meracuni
hasil panen dan mengganggu kesehatan para petani. Pertanian yang semula disebut
dengan istilah agriculture (kultur,
suatu cara hidup saling menghargai, timbal balik komunal, dan kooperatif, bukan
kompetitif) berkembang lebih popular dengan istilah agribusiness, sebuah sistem yang memaksakan tirani korporat untuk
memaksimalkan keuntungan dan menekan biaya, menjadikan petani/penduduk lokal
yang dahulu punya harga diri dan mandiri lalu berubah menjadi buruh upahan di
tanah air sendiri (Setia, 2007).[2]
Terkait
hal ini, menuntut ilmu khususnya dalam keilmuan islam tidak dapat terlalu
memicu pada ketergantungan dunia digital. Pasalnya Imam
Al-Ghazali berkata bahwa dalam mempelajari ilmu-ilmu syariat, keberadaan guru
yang terpercaya merupakan salah satu hal yang utama untuk menghindari kesesatan
dan penyimpangan.
Imam
Al-Ghazali berkata dalam ungkapannya:
اَلْمُرِيْدُ
يَحْتَاجُ إِلَى شَيْخٍ وَأُسْتَاذٍ يَقْتَدِيْ بِهِ لَا مَحَالَةَ لِيُهْدِيْهِ إِلَى
سَوَاءِ السَّبِيْلِ فَإِنَّ سَبِيْلَ الدِّيْنِ غَامِضٌ وَسُبُلَ الشَّيْطَانِ كَثِيْرَةٌ
ظَاهِرَةٌ فَمَنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ شَيْخٌ يُهْدِيْهِ قَادَهُ الشَّيْطَانُ إِلَى طُرُقِهِ
لَا مَحَالَةَ
Murid membutuhkan guru
dan ustadz yang diikuti secara pasti agar mereka menunjukkannya ke jalan yang
lurus, karena jalan agama itu tersembunyi, sedangkan jalan-jalan setan banyak
dan nampak. Barangsiapa yang tidak mempunyai guru yang memberi petunjuk, maka
setan pasti menuntunnya ke jalannya.
Sayyidina Ali bin
Abi Thalib ra. menggubah sebuah syair mengenai syarat-syarat dalam
mencari ilmu di mana petunjuk dari guru merupakan salah satunya:
أَلَا
لَا تَنَـالُ الْعِـلْـمَ إِلَّا بِسِـتَّةٍ ❖ سَأُنْبِيْكَ عَنْ مَجْمُوْعِهَا بِبَيَانٍ
ذَكَاءٍ
وَحِرْصٍ وَاصْطِبَارٍ وَبُلْغَةٍ ❖ وَإِرْشَادِ أُسْتَاذٍ
وَطُوْلِ زَمَانٍ
Ingatlah, kamu tidak
akan memperoleh ilmu kecuali dengan enam hal. Aku akan mengabarkannya kepadamu
dari himpunannya dengan penjelasan. Yaitu kecerdasan, semangat, sabar, biaya,
petunjuk guru, dan masa yang panjang.
Sementara
itu, bertanya kepada ulama (guru) tentang sesuatu yang kita tidak tahu
merupakan perintah Allah.
Allah
berfirman:
فَاسْـَٔلُوْٓا
اَهْلَ الذِّكْرِ اِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُوْنَۙ - ٤٣
Maka bertanyalah kepada
orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui (QS. An-Nahl [16]:
43).
Seorang
yang mempelajari dasar-dasar ilmu syariat seperti Al-Qur’an dan cabang-cabang
ilmunya, fikih, hadis, nahwu, sharaf, dsb, harus mempelajarinya melalui
perantara guru secara langsung dengan metode musyafahah (verbal)
dan tatap muka. Tujuannya, selain untuk mendapatkan pengetahuan dari guru ke
murid, pertemuan langsung juga bisa menghubungkan batin guru dan murid.
Sehingga murid tidak semata memperoleh pengetahuan, tetapi juga teladan,
pendidikan sikap, dan pembentukan karakter.
Banyak
dalil yang menjelaskan tentang ilmu itu harus dilandasi dengan sanad yang jelas
serta diperintahkan menuntut ilmu dengan berguru.
Berikut
beberapa dalil yang menjelaskan hal tersebut :
Seorang
tabi’in Imam Ibnu Sirin (w.
729 M) dan Imam
Malik bin Anas (w. 795 M) berkata:
الْعِلْمُ
دِينٌ فَانْظُرُوا عَمَّنْ تَأْخُذُونَ دِينَكُمْ
Ilmu ini adalah agama, maka lihatlah dari
siapa kalian mengambil agama kalian.
Sayyidina Ibn Mas’ud berkata:
لَا
يَزَالُ النَّاسُ بِخَيْرٍ مَا أَخَذُوا الْعِلْمَ عَنْ أَكَابِرِهِمْ وَعَنْ عُلَمَائِهِمْ
وَأُمَنَائِهِمْ، فَإِذَا أَخَذُوهُ مِنْ أَصَاغِرِهِمْ وَشِرَارِهِمْ هَلَكُوا
Manusia akan selalu dalam kebaikan selama
mereka mengambil ilmu dari tokoh-tokoh, ulama-ulama dan orang-orang terpercaya
mereka. Apabila mereka mengambilnya dari orang-orang kecil (bukan ulama) dan
orang-orang yang buruk, maka mereka binasa.
Imam Sufyan Ats-Tsauri (w.
778 M) berkata:
لَا
يُؤْخَذُ الْحَلَالُ وَالْحَرَامُ إلَّا عَنْ الرُّؤَسَاءِ الْمَشْهُورِينَ بِالْعِلْمِ
الَّذِينَ يَعْرِفُونَ الزِّيَادَةَ وَالنُّقْصَانَ
Halal dan haram tidak diambil kecuali dari
para pemimpin-pemimpin yang terkenal dengan ilmunya yang mengetahui adanya
tambahan atau kekurangan (dalam hukum).
Imam
Malik berkata:
لَا
يُؤْخَذُ الْعِلْمُ عَنْ أَرْبَعَةٍ وَيُؤْخَذُ عَمَّنْ سِوَاهُمْ، لَا يُؤْخَذُ عَنْ
مُعْلِنٍ بِالسَّفَهِ، وَلَا عَمَّنْ جُرِّبَ عَلَيْهِ الْكَذِبُ، وَلَا عَنْ صَاحِبِ
هَوًى يَدْعُو النَّاسَ إلَى هَوَاهُ، وَلَا عَنْ شَيْخٍ لَهُ فَضْلٌ وَعِبَادَةٌ إذَا
كَانَ لَا يَعْرِفُ مَا يُحَدِّثُ بِهِ
Ilmu tidak diambil dari empat golongan,
dan diambil dari selain mereka. Ilmu tidak diambil dari orang yang menampakkan
kebodohan, tidak diambil dari orang yang terbukti kebohongannya, tidak dari
orang yang memiliki hawa yang mengajak manusia kepada hawanya, juga tidak dari
guru yang memiliki keutamaan dan ibadah namun tidak diketahui apa yang tengah
dibicarakannya.
Tabi’in
dan mufti Syam Imam Sulaiman bin Musa Al-Asydaq (w.
737 M) berkata:
لَا
تَأْخُذُوا الْعِلْمَ عَنْ الصُّحُفِيِّينَ
Janganlah kalian mengambil ilmu dari
suhufiyyin (orang-orang yang mengambil ilmu dari buku-buku).
Imam
Syafii mengingatkan akan “kerugian” bagi orang yang belajar hanya melalui
buku-buku:
مَنْ تَفَقَّهَ
مِنْ بُطُوْنِ الْكُتُبِ ضَيَّعَ الْأَحْكَامَ
Barangsiapa yang belajar dari dalam
kitab-kitab (tanpa guru), maka ia telah menyia-nyiakan hukum-hukum.
Ulama
Syafii Badruddin Ibn Jama’ah (w. 1333 M) berkata:
وَلْيَجْتَهِدْ
عَلَى أَنْ يَكُوْنَ الشَّيْخُ مِمَّنْ لَهُ عَلَى الْعُلُوْمِ الشَّرْعِيَّةِ تَمَامُ
اطِّلَاعٍ وَلَهُ مَعَ مَنْ يُوْثَقُ بِهِ مِنْ مَشَايِخِ عَصْرِهِ كَثْرَةُ بَحْثٍ
وَطُوْلِ اجْتِمَاعٍ لَا مِمَّنْ أَخَذَ عَنْ بُطُوْنِ الْأَوْرَاقِ وَلَمْ يُعْرَفْ
بِصُحْبَةِ الْمَشَايِخِ الْحُذَّاقِ
Hendaklah seseorang bersungguh-sungguh
mencari guru dari golongan orang-orang yang sempurna menelaah ilmu-ilmu
syariat, banyak berdiskusi dan berkumpul dengan ulama-ulama terpercaya di
masanya, bukan belajar dari orang yang mengambil ilmu dari dalam kertas-kertas
dan tidak diketahui persahabatannya dengan ulama-ulama yang cerdas.
Belajar tanpa guru
Sering
kita dengar ungkapan, “Barangsiapa yang belajar tanpa guru, maka setan adalah
gurunya.” Kalimat ini banyak ditemukan dalam kitab-kitab tasawuf dan tarekat.
Ini disebabkan karena ilmu tasawuf dan tarekat adalah ilmu yang mengajarkan
cara-cara dan kaidah-kaidah seorang hamba berhubungan dengan Allah.
Kalimat
ini diungkapkan oleh ulama tasawuf Imam Abu Yazid Al-Busthami (w.
874 M):
مَنْ
لَمْ يَكُنْ لَهُ أُسْتَاذٌ فَإِمَامُهُ الشَّيْطَانُ
Barang siapa yang tidak mempunyai guru,
maka imamnya adalah setan.
Sementara
redaksi lain ditemukan dalam Tafsir Ruh Al-Bayan, karya Isma’il
Haqqi Al-Hanafi (w. 1715 M):
مَنْ
لَمْ يَكُنْ لَهُ شَيْخٌ فَشَيْخُهُ الشَّيْطَانُ
Barang siapa yang tidak mempunyai guru,
maka gurunya adalah setan.
Dengan
demikian, seseorang tidak bisa mengamalkan ajaran-ajaran islam bila tanpa
bimbingan guru atau mursyid. Jika tidak, maka ia akan tersesat dan kehilangan
arah.
Ulama
Tarekat Syadziliyah Syekih Ali bin Wafa (w. 1405 M)
mengatakan bahwa siapa pun yang menginginkan kesempurnaan tanpa melalui guru
dan pembimbing, maka ia telah salah menempuh jalan.
Ulama
hadis Syeikh Abdurrahman bin Yazid bin Jabir (w. 770
M) berkata:
لَا
يُؤْخَذُ الْعِلْمُ إلَّا عَمَّنْ شُهِدَ لَهُ بِطَلَبِ الْعِلْمِ
Ilmu tidak diambil kecuali dari orang yang
disaksikan bahwa ia mencari ilmu (bukan dari orang-orang yang tidak diketahui
pernah mencari ilmu).
Ilmu dunia yang boleh dan tidak dipelajari
tanpa guru
Selain
ilmu syariat, seseorang yang ingin mempelajari suatu ilmu dunia, maka kebutuhan
untuk belajar dengan seorang guru hukumnya relatif, tergantung pada subjek
pengetahuan yang dipelajari.
Untuk
ilmu-ilmu non-syariat, misalnya, pendidikan modern hari ini telah menyusun
sistem pendidikannya dengan tujuan peserta didik memiliki kompetensi
pengetahuan, kompetensi sikap, dan kompetensi keterampilan. Karena itu, mereka
diharuskan untuk bersekolah atau mengikuti pelatihan yang di dalamnya terdapat
guru dan pelatih hingga ia dinyatakan lulus dan kompeten. Jika tidak, maka
keilmuannya dalam konteks ini akan diragukan dan dipertanyakan.
Meski
demikian, terkait ilmu-ilmu non-syariat (ilmu-ilmu duniawi) seseorang boleh
mempelajarinya tanpa guru selama ilmu tersebut bukanlah ilmu yang membutuhkan
keahlian khusus, tidak berdampak langsung pada keselamatan jiwa manusia, dan
mengharuskan adanya guru atau pembimbing. Misalnya, memasak, bertani,
programming, dsb. Ilmu-ilmu di bidang ini jika dipelajari secara otodidak, hal
itu tidaklah bermasalah.
Namun,
jika ilmu-ilmu duniawi itu membutuhkan keahlian khusus dan mengharuskan
bimbingan guru ahlinya karena terkait langsung dengan kemaslahatan jiwa
manusia, maka ilmu ini tidak boleh dipelajari secara otodidak. Misalnya,
kedokteran, farmasi, kebidanan, perawat, nuklir, dirgantara, dsb. Ilmu-ilmu ini
jika dipelajari tanpa bimbingan dan pengawasan ahlinya, maka akan sangat
berbahaya bagi keselamatan manusia.
Maka
jelas dalam al-quran, beriilmu dalam konsep islam tanpa berguru itu tidak bisa
digunakan kecuali ilmu ilmu duniawi itu sifatnya relatif, karena perintahnya
jelas bawha berguru dalam menuntut ilmu adalah suatu hal yang diperintahkan
oleh Allah SWT.[3]
Dengan hal ini Upaya sistematisasi menuntut ilmu melalui dunia digital memerlukan
bimbingan dan diskusi. Bimbingan dan diskusi dapat dilakukan dengan
memanfaatkan bimbingan yang dilakukan secara digital juga. Misalnya dengan
mengikuti pengajian, kajian, diskusi materi terkait melalui media digital
online.
Untuk memilih saluran online
yang sesuai dengan upaya sistematisasi belajar ini dapat memilih media online
yang menyajikan belajar secara rutin, runtut, dan sistematis. Banyak sekali
pesantren, perguruan tinggi, ataupun organisasi masyarakat yang menyediakan
saluran seperti ini. Yang diperlukan bagi pembelajar dunia digital online saat
ini adalah sungguh-sungguh.[4]
C.
KESIMPULAN
Ketika seseorang mempelajari ilmu syariat, maka haruslah belajar
dengan guru yang kompeten di bidangnya. Ilmu syariat tidak bisa dipelajari
secara otodidak atau dengan guru yang salah, sebab jika hal itu terjadi, maka
ia akan terjebak pada kesesatan dan penyimpangan tentang makna dan tujuan
agama. Dan tentu hal ini akan membahayakan bagi dirinya dan umat.
Namun, jika seseorang pernah belajar ilmu agama (e.g., ulumul
qur'an, nahwu, sharaf, fikih, dsb.) secara mendalam dengan seorang guru yang
kompeten, kemudian ia ingin mengulangi untuk mempelajarinya, maka ia boleh
mempelajarinya sendiri dengan maksud mendalaminya.
Di sisi lain, ilmu-ilmu dunia yang mengharuskan keberadaan guru
dalam mempelajarinya, maka ilmu ini tidak boleh dipelajari dan dipraktekkan secara
otodidak, sebab hal itu akan berbahaya bagi keselamatan umat manusia (e.g.,
ilmu kedokteran, penerbangan, navigasi pesawat, dsb.). Sementara itu, ilmu-ilmu
duniawi yang siapa pun bisa mempelajarinya secara otodidak, karena tidak
terkait langsung dengan keselamatan umat manusia, maka tidak mengapa baginya
untuk belajar tanpa guru.
DAFTAR
PUSTAKA
Drs.
Mu’adz, M.Ag,Islam Ilmu Pengetahuan, Universitas muhammadiyah siduarjo
Setia,
Adi. 2007. Three
Meanings of Islamic Science Toward Operasionalizing of Knowledge. Center for Islam
and Science: Free online Library.
Ihya’
‘Ulum Ad-Din; Al-Ghazali, Syarh As-Sunnah; Al-Baghawi, Al-Adab Asy-Syar’iyyah
wa Al-Minah Al-Mar’iyyah; Muhammad bin Muflih Al-Hanbali, Ta’lim Al-Muta’allim;
Burhanuddin Az-Zarnuji, Tadzkirah As-Sami wa Al-Mutakallim; Ibn Jama’ah, Ruh
Al-Bayan; Isma’il Haqqi bin Mushthafa, dan Ar-Risalah Al-Qusyairiyah; Abu
Al-Qasim Al-Qusyairi.
[1]
Drs. Mu’adz, M.Ag,Islam
Ilmu Pengetahuan, Universitas muhammadiyah siduarjo 2016. Hal. 3.
[2] Setia, Adi. 2007. Three
Meanings of Islamic Science Toward Operasionalizing of Knowledge.
Center for Islam and Science: Free online Library.
[3]
Ihya’ ‘Ulum Ad-Din; Al-Ghazali, Syarh As-Sunnah; Al-Baghawi, Al-Adab
Asy-Syar’iyyah wa Al-Minah Al-Mar’iyyah; Muhammad bin Muflih Al-Hanbali, Ta’lim
Al-Muta’allim; Burhanuddin Az-Zarnuji, Tadzkirah As-Sami wa Al-Mutakallim; Ibn
Jama’ah, Ruh Al-Bayan; Isma’il Haqqi bin Mushthafa, dan Ar-Risalah
Al-Qusyairiyah; Abu Al-Qasim Al-Qusyairi.
Komentar
Posting Komentar